Sabtu, 22 September 2012

Bahaya Laten Hooliganisme


Kekerasan antara pendukung sepak bola di Inggris telah banyak diangkat menjadi cerita di layar kaca, Green Street Hooligans, Football Factory dan Hooligans adalah tiga titel yang bertema kekerasan hooliganisme. Semalam, dunia sepak bola Inggris dikejutkan dengan kembalinya aksi Hooliganisme di Britannia Raya.
Sejarah kekerasan antara pendukung West Ham dan Millwall sering menjadi inspirasi cerita fiksi, semalam ketika kedua tim bertemu di laga putaran kedua Piala Liga, suasanapun berlangsung panas. Tidak peduli bahwa Millwall sekarang berstatus sebagai klub League One, dua kasta di bawah Premiership. Bukanlah hal yang mengejutkan bila pertandingan keduanya beroktan tinggi, tapi siapa yang mengira bahwa kerusuhan ala tahun 1980-an akan terulang?
West Ham memulai pertandingan semalam dalam keadaan duka. Salah satu pemain belakang mereka, Calum Davenport, diserang di rumahnya, dimana kakinya ditikam dan terancam tidak bisa bermain lagi. Tidak lama setelah itu ayah  gelandang Jack Collison meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan lalu lintas kala ia akan menyaksikan anaknya berlaga melawan Tottenham Hotspurs hari Minggu silam.
Sebelum pertandingan, terlihat seluruh pemain West Ham mengenakan arm band hitam untuk menunjukkan bela sungkawa atas kematian ayah Jack Collison. Sedikit banyak, hal ini turut mempengaruhi emosi, baik para pemain maupun suporter, apalagi Jack Collison memutuskan untuk tetap bermain meskipun sedang dilanda duka.
Saya sendiri duduk bersama beberapa teman di bagian VIP, dan menikmati pertandingan yang berjalan relatif aman dan terkendali. Ketika Neil Harris mencetak gol bagi Millwall pada menit 22, suporter The Lions mulai bernyanyi ”Oh South London is wonderful…” dan diikuti dengan “Oh East London is like Bengal, it’s like the streets of Delhi” untuk mengejek pendukung West Ham, mencemooh daerah mereka yang dikenal sebagai kawasan hunian para imigran Asia, terutama India. Pendukung fanatis West Ham pun membalas mengejek, tapi bagi saya semua masih aman aman saja. Ejek mengejek antara supporter adalah hal yang biasa saya alami, jadi kami hanya menanggapinya dengan tertawa.
Pendukung West Ham yang frustrasi selama hampir 90 menit mendadak larut dalam histeria setelah pada menit 87, Junior Stanislas menyamakan kedudukan bagi tim asuhan Gianfranco Zola dan inilah awal perkara, karena beberapa fans West Ham terlarut dalam kepuasaan dan turun memasuki lapangan sehingga mengakibatkan pertandingan terhenti sejenak.
Skor imbang 1-1 memaksa kedua tim bermain dalam perpanjangan waktu. Stanislas lagi-lagi mencetak gol, kali ini dari titik putih pada menit 98, dan membakar ribuan suporter West Ham yang kembali menginvasi lapangan, kali ini jumlahnya lebih banyak dari gol pertama. Pemain Millwall yang gentar akan pemandangan yang dapat membahayakan diri mereka tersebut memilih untuk berdiri di pinggir lapangan.
Pendukung West Ham berbalik mengejek suporter Millwall dengan nyanyian yang dijawab langsung oleh suporter Millwall dengan mencabuti bangku stadion dan melemparkannya ke arah pendukung West Ham. Saya dan teman teman yang berada di sektor VIP tidak dalam kondisi bahaya, tapi terlihat beberapa yang duduk berseberangan dari para penggemar Millwal memang sudah berniat perang dan saling melempari. Polisi yang jumlahnya jauh lebih sedikit kebanding supporter Millwal kewalahan tapi tetap mampu memisahkan mereka dari para penggemar West Ham. Saya tidak menyangka bahwa di luar stadion kejadian yang sama sedang berlangsung dan polisi sempat kehilangan kendali ketika supporter kedua tim saling bertempur dan merusak lingkungan sekitar.
Pertandingan berakhir dengan keunggulan West Ham. Zavon Hines sempat menambah kemenangan The Hammers lewat golnya pada menit 100 tapi apa yang terjadi setelah peluit panjang tanda pertandingan usai ditiupkan jelas adalah sebuah kekalahan. Ya, kekalahan sepakbola atas hantu kekerasan.
Begitu wasit meniup peluit akhir, lebih banyak lagi suporter West Ham yang menerobos masuk lapangan. Polisi dan steward pertandingan berusaha keras mencegah pecahnya kerusuhan di dalam stadion namun mereka tetap saja kehilangan kendali atas keadaan.
Beberapa hooligans bahkan mencoba bersalaman dengan para pemain, padahal kebanyakan pemain justru terkejut dan takut melihat aksi ini. Apalagi jika mendengarkan diskusi beberapa jajaran direksi di belakang saya yang ketakutan jika perjuangan susah payah mereka akan menjadi sia sia karena West Ham bisa saja didiskualifikasi dari kompetisi. Sungguh sebuah aksi kebodohan yang sulit dimengerti.
Setelah polisi berangsur menguasai keadaan dalam lapangan kami mendapat peringatan untuk tidak meninggalkan stadion dulu, rupanya kondisi yang lebih buruk terdapat di luar stadion: mobil dijungkirbalikkan, bar yang diporak-porandakan, dan batu yang bertebaran di mana-mana. Bahkan seorang saksi mata mengatakan ia melihat seseorang yang terkapar setelah kepalanya dihantam oleh balok. Saksi mata lainnya menyaksikan bagaimana suporter Millwall mengerubungi seorang polisi anti huru-hara yang mengendarai kuda dan berusaha untuk mendorong kuda tersebut sampai jatuh.
Salah satu teman saya tidak jadi hadir menemani saya di pertandingan ini karena begitu ia tiba di stasion kereta api bawah tanah di Upton Park, polisi sudah memberi tahu bahwa mereka tidak bisa menjamin keselamatannya. Tadinya saya sempat meledek dia sebagai seorang pengecut, tapi sekarang saya bersyukur ia tidak jadi datang, karena ia harus berjalan kaki melalui area yang kini sudah menjadi area tempur kedua penggemar.
Manajer West Ham, Gianfranco Zola, nampak shock akibat apa yang ia saksikan malam itu. ”Dalam tujuh tahun di Chelsea dan 11 bulan di West Ham, saya tidak pernah melihat sesuatu seperti ini. Saya sangat terkejut dengan semua ini. Kita semua tahu bahwa pertandingan ini sangat berarti bagi kedua kelompok suporter, tapi tidak ada yang menyangka akan berakhir seperti ini”.
Asosiasi sepak bola Inggrispun mengambil tindakan cepat dengan memberi pernyataan bahwa semua orang yang yang terlibat dalam kerusuhan semalam, baik di luar dan dalam stadion, akan dilarang untuk menghadiri pertandingan sepakbola seumur hidup.
Peristiwa ini menyadarkan pemerintah Inggris bahwa menempatkan Stewards dan bukan polisi akan berkonsekuensi tinggi, terutama dalam partai yang memiliki sejarah kekerasan fans yan gtinggi. 
Pertandingan semalam seharusnya menceritakan keberanian seorang Jack Collison yang mengesampingkan rasa duka demi menjalankan tugasnya. "That’s what my dad would’ve wanted" atau "Ayah saya pasti menginginkan saya untuk terus bermain" ujar Collison. Sayangnya kisah keberanian itu malah dirusak oleh beberapa oknum yang mengaku pendukung dari klub itu sendiri.
Rekan rekan Collison mengenakan arm-band hitam untuk berkabung atas perginya ayah Collison, seharusnya arm-band itu duganakan untuk mengenang hilangnya integritas sepak bola dan munculnya kembali kebodohan hooliganisme.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar