Minggu, 25 November 2012

5 Fakta Unik Tentang ARSENAL


1. Gerrit Keyser, kiper Belanda yang menjadi pemain non-British pertama di Arsenal, dijuluki The Flying Dutchman karena selalu terbang dari London ke Amsterdam setiap setelah membela Arsenal pada hari sabtu agar bisa membela tim reserve ajax pada hari berikutnya. (inilah asal muasal julukan THE FLYING DUTCHMAN).

2. Dennis Bergkamp dan Ian Wright pertama kali bertemu secara tak sengaja di stasiun pengisian bahan bakar M25. Ketika itu, Bergkamp baru tiba dari Belanda untuk menjalani tes medis sebelum menandatangani kontrak dengan Arsenal.Ada insiden kecil yang terjadi saat itu. Bergkamp dimarahi Wright karena salah jalan. Itu akhirnya menjadi alasan wright selalu memeluk erat Bergkamp saat merayakan gol.

3. Herbert Chapman memperkenalkan penggunaan nomor punggung saat Arsenal bertandang ke markas Sheffield Wednesday pada 25 agustus 1928. Meski kemudian dilarang FA, Chapman tetap menerapkan hal itu di tim reserve. FA akhirnya mengesahkan penggunaan nomor punggung pada 1938 (inilah asal mula terciptanya nomor punggung pemain)

4. Arsenal adalah satu-satunya klub yang namanya digunakan sebagai nama stasiun subway. Itu juga tak lepas dari lobi Chapman yang mempengaruhi pejabat setempat untuk mengubah GILLESPIE ROAD STASIUN menjadi ARSENAL TUBE STATION.

5. Di era Chapman juga lah Arsenal memiliki tradisi unik. Pada setiap laga kandang, mereka memasang karangan bunga dengan warna sesuai tim tamu di boardroom dan lobi ruang VIP stadion.

Belajar Menjadi Ultras Yang Baik


Indonesia adalah negara yang pluralis dimana banyak sekali perbedaan yang ada dalam setiap sendi kehidupan masyarakatnya. Perbedaan-perbedaan itu bisa dilihat dari suku, bahasa, agama, sosial, gaya hidup, politik bahkan olahraga. Khusus yang terakhir, yakni olah raga, sangat menarik bagi saya untuk dianalisa. Dewasa ini banyak sekali klub pendukung (fans club) klub-klub asing yang ada di Indonesia mulai dari fans club pendukung klub Liga Primer Inggris, Serie A Italia dan La Liga Spanyol. Setiap fans club memiliki ciri-ciri dan peraturannya sendiri-sendiri. Dan uniknya tidak sedikit dari fans club itu yang memiliki anggota hardcore atau garis keras atau dalam bahasa Italianya memiliki sebutan sebagai Ultras.

Sebagai seorang Laziale yang dari awal dan sampai kapanpun akan selalu mendukung SS Lazio 1900 saya sangat akrab dengan definisi dan perilaku Ultras Indonesia. Ultras disini dapat dengan mudah dibedakan dari mereka yang hanya sekedar suka dengan sebuah klub sepakbola Italia. Ultras akan selalu mendukung dengan cara apapun, kondisi apapun dan bagaimanapun hanya untuk sebuah klub yang mereka dukung. Ultras dapat bertindak kasar, kotor sampai dengan tindakan yang sopan dalam bersosialisasi dengan sesama ultras dari klub yang berbeda.


Dan anehnya banyak orang-orang Indonesia yang tak segan-segan melabeli diri mereka dengan predikat Ultras. Mereka bertindak dan bertingkah seolah mereka adalah satu-satunya pendukung klubnya dimuka bumi ini sehingga menggangap klub merekalah yang paling hebat dan baik didunia walaupun antara definisi dan kenyataan belum tentu sama. Sebenarnya sah-sah saja untuk menganggap seperti itu dan tak ada salahnya. Yang menjadi persoalan adalah ketika mereka masih membawa label-label tersebut ketika bersosialisasi atau berinteraksi dengan pendukung klub lain apalagi dengan klub rival.

Melihat fenomena yang berkembang saat ini, khususnya antara Lazio Indonesia dan Romanisti Indonesia yang memang dari sananya telah menjadi sebuah rival abadi akan dapat terlihat aneka macam debat baik dengan cara-cara yang santun dan kotor. Saat ini di media sosial seperti Facebook masing-masing pihak membuat sebuah group yang intinya mengajak sesama ultras untuk saling membenci dengan kata-kata kotor, hina dan tak berpendidikan. Lazio Indonesia dengan Anti Romanisti Indonesia sedangkan Romanisti Indonesia dengan Anti Laziale Indonesia-nya. Dan untungnya saya tidak menjadi member di kedua group tersebut.

Tentu sebagai Laziale saya akan menyoroti group Anti Laziale Indonesia yang dibuat sebagai respon atau tepatnya balasan dari group yang telah dibuat sebelumnya oleh Lazio Indonesia dengan Anti Romanisti Indonesia-nya. Dan beberapa hari belakangan ini saya cukup intens untuk membaca wall post mereka dan dengan membaca semuanya maka tak lain dapat ditarik kesimpulan bahwa hampir 90 % wall post adalah kata-kata kotor tak beradab yang bahkan tak layak diucapkan oleh manusia yang katanya beradab. Bagaimana sebuah klub telah membutakan mata mereka semua? Apa yang didapat mereka dengan menulis kata-kata kotor tersebut dari klub mereka, AS Roma? Sebuah penghargaan kah? Sebuah tropi Liga Champions kah? atau predikat Supporter Terbaik Dunia versi FIFA?

Menarik untuk mengutip pernyataan dari salah satu admin Anti Laziale Indonesia yang katanya group ini didirikan oleh para Ultras-ultras Romanisti Indonesia dengan menyebut diri mereka sebagai GLADIATOR? Jujur pernyataan ini dapat menjadi pernyataan TERKONYOL UNTUK BEBERAPA ABAD MENDATANG! mereka Gladiator? mereka Ultras? Ha. Kemudian timbul pertanyaan seperti berikuti ini.
1. Apakah orang yang belum pernah berdiri di curva Sud atau area manapun di stadion Olimpico layak disebut Ultras?
2. Apakah orang yang hanya membeli jersey atau aksesori bajakan dapat disebut Ultras?
3. Apakah mereka tahu semua sejarah sampai hal terkecil dari klub yang mereka puja?
4. Apakah hanya dengan setiap saat menonton pertandingan live di TV dapat dikatakan Ultras?
5. Apakah orang yang sering online disitus Romanisti Indonesia, forum atau Facebook cocok untuk dikatakan Ultras?
6. Apakah orang yang paling sering menulis ejekan, kata-kata kotor, makian dan sumpah cocok dikatakan Ultras?
7. Apakah mereka masih memilih keluarga daripada klub?
8. Apakah mereka berani bertarung layaknya Ultras sesungguhnya di Italia sana?

Rasanya untuk menjawab 2 pertanyaan saja diatas saja sudah sangat sulit apalagi menyebut diri Ultras. Sedih sekaligus lucu melihat dan membaca semua komentar-komentar dari teman-teman Romanisti di group Facebook tersebut.

Saya dapat berdebat dengan para Romanisti berdasarkan fakta-fakta yang konkret dan sopan selama berjam-jam namun jika sudah dihadapkan pada para sok Ultras Romanisti Indonesia maka saya lebih baik mengalah karena level intelektualitas saya jauh berbeda dari mereka. Dan ketika mereka mengatakan saya sombong, sok dan tinggi itu lebih baik daripada mengaku ultras yang sebenarnya sangat tidak ultras dan bertindak konyol dengan menuliskan kata-kata kotor makian.

Saya pribadi tidak berani menyebut diri saya sebagai Ultras walaupun sangat mudah untuk melakukannya. Kita semua adalah pendukung klub sepakbola luar negeri yang tidak memiliki ikatan batin, psikologi dan mental dengan klub asal kita masing-masing. Seorang supporter yang baik adalah supporter yang lahir, tumbuh, besar di lingkungan dimana klub itu berada dan selalu berada disisi klub yang dia bela. Sebagai seorang warga negara Indonesia yang terpisah jarak puluhan ribu kilometer dari klub kita tentu menyebut diri sendiri yang terbaik tentulah sangat konyol, bias dan dapat diperdebatkan. Mau sehebat apapun klub yang didukung, selagi kita tidak memiliki kedekatan psikologi dengannya maka akan muncul perasaan terombang-ambing. Ini sama saja mencintai orang tua yang tidak melahirkan kita.

Dan sebagai penutup, terlebih teman-temanku yang menyebut diri sebagai Ultras Romanisti Indonesia yang ada di group Anti Laziale Indonesia, kami para Laziali Indonesia, khususnya saya, sedikit pun tidak pernah dan akan tersinggung dengan segala komentar-komentar di wall post group kalian. Karena kata-kata kotor dan makian tak akan mengubah intelektualitas dan sejarah dari klub yang anda dan kami bela. Oleh sebab itu semakin anda bertindak ala Ultras Romansiti Indonesia maka kalian akan diingat sebagai sekumpulan badut-badut lucu yang tak tahu makna sebenarnya dari seni mendukung klub yang baik dan sehat.

PS. Saya sangat berharap akan ada balasan yang lebih menyakitkan dengan kata-kata kotor dari kalian disini dan disana. Dan bagi para penggemar Kamus Besar Bahasa Kotor Indonesia (KBBKI) silahkan berkunjung dan belajar dari para Ultras-Ultras Romansiti Indonesia! Ha!

Sumber Link

Selasa, 20 November 2012

Olimpia, Pilihan Pada Sebuah Kesetiaan


Mungkin Anda masih ingat, ketika menjelang Derby della Capitale, 17 Oktober 2011 saat Lazio bertindak sebagai tuan rumah, dari layar televisi kita sempat menyaksikan seekor elang yang hinggap di tangan seorang ultras Lazio dibawa berlari mengelilingi lapangan stadio Olimpico. Elang betina muda (gli aquilotti) tersebut bernama Olimpia. Dia adalah maskot Lazio. Dan yang membawanya adalah si pawang yang bernama Juan Barnebe.

Elang tersebut sesungguhnya selalu menyertai tim Lazio saat bertanding di Olimpico, beberapa kali juga dibawa pada laga tandang Serie-A jika keadaan memungkinkan. Ketika Petkovic membawa pasukannya dalam camp latihan pra-musim di Auronzo di Cadore, Olimpia pun menyertai rombongan. Kali ini Olimpia membawa misi khusus, karena Lazio memang tidak sedang melakoni laga resmi.

Olimpia diberikan pilihan untuk menentukan masa depannya: kembali ke alam bebas atau tetap menyertai Lazio di musim ini, Sebuah ritual khusus dirancang dan momentum dipilih pada Kamis, 19 Juli 2012, saat para pemain menjalani latihan fisik dengan mendaki puncak Agudo. Bukan tanpa kekhawatiran, karena Olimpia tidak terbiasa hidup di alam liar sedangkan Gunung Agudo merupakan habitat alamiah elang yang hidup di alam bebas.

Demikianlah setelah semua pemain mencapai puncak Agudo, mereka menjadi saksi pelepasan Olimpia ke langit biru. Olimpia segera menikmati kebebasannya, terbang membentangkan kedua sayapnya dengan anggun dan sejenak berputar-putar seakan ingin menyaksikan untuk terakhir kalinya wajah para pemain Lazio. Tak lama kemudian, Olimpia menghilang di balik lebatnya pepohonan.

Pilihan Pada Sebuah Kesetiaan
Menjelang sore, semuanya sudah beranggapan bahwa Olimpia memilih alam bebas untuk hari depannya. Sampai tiba-tiba maskot yang telah menyertai perjalanan Tim Pertama Ibukota tersebut muncul di camp Auronzo di Cadore. Beberapa menit memutari areal latihan, dan dengan keanggunan yang hanya mungkin ditampilkan oleh seekor elang, Olimpia menukik tajam, dan menuju Juan Barnebe, hinggap di lengan yang telah lama dikenalnya. Olimpia telah menentukan pilihannya. Dan pilihannya adalah kesetiaan kepada pasukan birulangit. Olimpia ingin menjadi saksi keberhasilan Lazio mengarungi musim ini.

Elang memang spesies istimewa. Elang identik dengan keberanian, kegigihan dan keanggunan yang elegan. Di alam bebas, elang berada di puncak rantai makanan (food chains). Dia adalah predator yang tidak memiliki predator bagi dirinya sendiri. Elang adalah pemburu ulung, yang hanya mau menikmati daging segar, bukan menyukai bangkai seperti halnya srigala, misalnya.

Elang adalah nilai-nilai etika yang terjaga. Mereka tidak akan pernah mengawini keturunannya sendiri seperti hanya, sekali lagi, srigala yang menganut kehidupan incest, kawin-mawin tak menentu di antara keluarga sendiri. Dan elang adalah kesetiaan tanpa batas. Elang adalah hewan monogamis yang setia kepada satu pasangannya. Elang jantan selalu melindungi si betina yang mengerami telur, turut mencarikan makanan bagi anak-anaknya. Tidak seperti, lagi-lagi, srigala. Jika pasangannya mati atau hilang, elang akan memilih hidup sendiri hingga menemukan pasangan baru yang tidak bertautan darah.

Kesetiaan, loyalitas, itulah elang. Dan Olimpia menunjukkan nilai luhur tersebut dengan memutuskan untuk setia kepada Lazio.

Tak lekang rasanya apresiasi dan kekaguman kepada para founding fathers Lazio, yang dengan sangat arif memilih elang sebagai simbol abadi, dan bukan hewan-hewan dina lainnya seperti ular atau srigala. Tak terbayangkan andaikata seekor srigala yang dilepas dari puncak Agudo. Bukan keanggunan atau kesetiaan yang diperagakan, melainkan kengerian dan wabah rabies di segenap penjuru Italia. Grande Olimpia!

Sumber Link

Manusia Dan Simbolisasi Alam


Ini tentang simbolisasi yang dilakukan oleh manusia sejak dulu. Berbagai bangsa melakukan simbolisasi ini dengan harapan dapat mewujudkan nilai-nilai positif yang terdapat pada simbol yang dipakainya dalam kehidupan. Tak heran, bangsa Indian Amerika, misalnya menamai anaknya secara simbolis dengan Beruang Perkasa, Kuda Sigap dan sejenisnya dengan harapan saat dewasa mereka akan seperkasa beruang atau sesigap Kuda. Indonesia juga mengenal tokoh Kebo Ijo di masa kerajaan Singosari, tentu dengan harapan yang bersangkutan sekuat kerbau sang pekerja keras.

Hingga masa kini kita lekat dengan simbol-simbol itu. Negara pastilah memiliki simbol. Amerika Serikat, Indonesia dan hampir 70% negara di dunia memakai Elang dan segala variasi spesiesnya seperti Garuda dan Rajawali sebagai lambang negara. Demikian juga berbagai organisasi termasuk perkumpulan olahraga, memilih sebuah simbol untuk dijadikan inspirasi. Banyak simbol yang dipakai, tulisan ini tak hendak mengevaluasi dan menghakimi simbol-simbol tersebut, tetapi semata-mata menelaahnya dari karakteristik masing-masing simbol yang dipakai.

Bunga Lili
Lilies alam bahasa Inggris atau Gigliati dalam bahasa Italia. Tidak banyak yang menggunakan simbol jenis tanam-tanaman berdurasi hidup singkat seperti bunga lili ini. Tak ada orang yang berpikiran jauh ke depan yang memekai simbol tanaman semusim ini. Memakai simbol lili sama saja dengan memakai simbol kangkung, eceng gondok, toge atau terong. Maka saya tak akan membahas lebih lanjut. Betul-betul tidak penting.

Setan
Devil dalam bahasa Inggris atau Diavolo dalam bahasa Italia. Setan senantiasa dihindari bahkan dimusuhi dan dikutuk oleh umat beragama. Sebelum membaca ayat suci Al Quran misalnya, maka dibacalah: Aku berlindung dari godaan Setan yang terkutuk. Masuk akal, karena setanlah mahluk pertama yang dilaknat Tuhan karena membangkang perintahNya, dan yang menjerumuskan Hawa untuk membujuk Adam melanggar laranganNya di Taman Firdaus. Setanlah yang bersekutu dengan koruptor, maling ayam, pencuri sendal di masjid, pembunuh berantai hingga pemerkosa biadab, pembohong dan pendusta. Memakai Setan sebagai simbol, bagi saya sangat aneh, karena tak ada sedikitpun hal positif yang dapat diinspirasi dari Setan.

Ular
Snake dalam bahasa Inggris atau Biscione dalam bahasa Italia. Ini agak mirip Setan, karena Ular diyakini sebagai perwujudan Setan ketika membujuk Hawa di Firdaus. Ular jelas tidak memiliki pandangan jauh dan tinggi, karena dia hewan melata di tanah, sampah dan bahkan jamban kumuh. Ular juga simbol kelicikan. Kita mengenal ungkapan: Bagaikan ular berkepala dua. Tokoh antagonis dalam novel Harry Potter, Lord Voldemort, akrab dengan ular bernama Basilisk, dan bahkan sebagian nyawanya ada di dalam Nagini, ular peliharaannya. Asrama penyihir jahat, Slytherin, juga bersimbol ular. Hewan menjijikkan ini sering membunuh mahluk lain, termasuk manusia. Tetapi Ular memiliki predator mematikan bagi bangsanya, yaitu Elang.

Zebra
Zebra  dalam bahasa Inggris atau Zebre untuk Zebra Besar dan Zebrette untuk Zebra Kecil dalam bahasa Italia. Citra Zebra memang lebih baik daripada Setan atau Ular. Dia pelari yang tangguh. Tetapi pemakaian simbol Zebra tetaplah menjadi paradoks. Kita kenal Zebra Cross berupa garis hitam-putih melintang jalan sebagai tempat penyeberangan. Dalam konteks ini maka Zebra berfungsi untuk diinjak-injak manusia dengan sendal dan sepatu yang mungkin saja tertempel sampah atau kotoran anjing. Zebra juga melambangkan penjahat atau narapidana. Di komik Donal Bebek misalnya, trio penjahat yang dikenal sebagai Gerombolan Si Berat selalu mengenakan kostum bermotif Zebra, lengkap nomor registrasi penjara di dadanya. Seperti saya sebutkan tadi, simbolisasi Zebra merupakan paradoks. Dapat menyimbolkan pelari cepat, tetapi juga melambangkan residivis atau penjahat kambuhan.

Srigala
Wolf dalam bahasa Inggris atau Lupi dalam bahasa Italia. Bagi saya ini simbol yang paling dipertanyakan, karena citra Srigala yang lebih runyam daripada Ular sekalipun. Srigala adalah hewan yang sama sekali tidak mengenal etika. Dalam suatu kawanan Srigala, sangat umum terjadi perkawinan sedarah (incest). Ayah mengawini anak perempuan, anak mengawini ibunya atau saudaranya sendiri. Tak mungkin membuat silsilah bagi bangsa Srigala karena budaya kawin-mawin tak keruan ini. Srigala jantan juga menelantarkan pasangan yang mengandung benihnya, menelantarkan anak-anaknya, bahkan tak jarang membunuh dan menyantap mereka.

Srigala memang pemburu hewan herbivora, tetapi bagi Srigala tak ada daging segar, bangkai busukpun jadi. Nenek moyang anjing ini juga tak menyiratkan nilai positif dalam peradaban manusia. Ada pepatah: Bagaikan Srigala berbulu domba. Dalam kisah Gadis Berkerudung Merah, Srigala menipu dan memakan si gadis, kemudian memakai kerudung menyamar menjadi dirinya dan lagi-lagi memakan nenek si gadis. Pendeknya Srigala adalah citra ketamakan, kejorokan dan kekumuhan. Air liurnya yang senantiasa menjijikkan menetes-netes, mengandung kuman rabies yang siap menyebarkan wabah. Srigala memiliki beberapa predator yang siap memangsanya seperti harimau dan Elang. Anak srigala seringkali menjadi korban perburuan Elang.

Elang
Eagle dalam bahasa Inggris atau Aquille untuk Elang jantan atau Gli Aquilotti untuk Elang muda betina dalam bahasa Italia. Seperti saya sebutkan di atas, Elang dengan segala variasi spesiesnya, adalah yang terbanyak dipakai sebagai simbol negara-negara di dunia ini. Ini karena Elang memiliki karakteristik yang anggun, gagah, perkasa dan berani. Elang melambangkan pandangan yang tinggi dan jauh ke depan karena senantiasa membubung tinggi di langit biru. Elang hampir tak pernah sudi menjejakkan kakinya di tanah kecuali ketika sedang memangsa buruannya. Berlainan dengan Srigala yang menyukai bersarang di tempat kumuh bahkan di jamban kotor, sarang Elang adalah puncak-puncak pohon tinggi di gunung-gunung tertinggi. Tak heran jika Zeus, dewa tertinggi dalam mitologi Yunani memiliki pengawal seekor Elang bernama Olimpia dalam bertahta di puncak Olimpus. Dalam cerita Ramayana, Jatayu, seekor garuda yang sekeluarga Elang, mempertaruhkan hidupnya dengan gagah-berani melawan Raja Rahwana yang menculik Dewi Sinta.

Elang juga simbol penghormatan terhadap nilai etika dan moral yang luhur. Elang diketahui sebagai monogamis, setia kepada satu pasangan hingga maut menjemput. Jika kehilangan pasangannya karena kematian atau hilang, Elang memilih hidup menyendiri hingga menemukan pasangan baru. Elang jantan akan merawat dan menjamin ketersediaan makanan bagi Elang betina yang sedang mengerami telurnya. Elang jantan dan betina bersama-sama mendidik dan membesarkan anak-anaknya sebagai sebuah keluarga.

Elang mengharamkan perkawinan sedarah, tak pernah terjadi Elang mengawini orangtua, anak atau saudara sendiri. Itu sebabnya, Elang termasuk binatang yang langka dan dilindungi, karena jumlahnya yang tak banyak. Bagi Elang kualitas berada di atas kuantitas. Moral dan etika yang terjaga lebih penting daripada sekedar jumlah yang banyak. Yang pasti, Elang berada di puncak mata rantai makanan (food chains). Elang adalah predator ganas bagi hewan lain termasuk Ular dan Srigala. Tetapi Elang sendiri tak memiliki predator bagi bangsanya. Elang, inilah simbol yang sebenarnya!

Sumber Link

Sejarah Ultras dan Ultras Indonesia



Ultras diambil dari bahasa latin yang mengandung artian 'di luar kebiasaan'. Kalangan ultras tidak pernah berhenti menyanyi mendengungkan yel-yel lagu kebangsaan tim mereka selama pertandingan berlangsung. Mereka juga rela berdiri sepanjang pertandingan berlangsung (karena negara-negara yang terkenal dengan ultras nya seperti Argentina dan Italia, menyediakan tribun berdiri di dalam salah satu sudut stadion mereka). Selain itu pun para ultras paling senang menyalakan kembang api atau petasan di dalam stadion karena hal itu didorong untuk mencari perhatian, bahwa mereka hadir di dalam kerumunan manusia di dalam stadion.

“As an ultra I identify myself with a particular way of life. We are different from ordinary supporters because of our enthusiasm and excitement. This means, obviously, rejoicing and suffering much more acutely than everybody else “.

Nukilan kalimat dari seorang anggota Brigate Rossonere, salah satu ultras AC Milan, membantu kita untuk mengenali fenomena ultras. Ultras bukanlah sekadar kumpulan suporter (tifosi) biasa melainkan kelompok suporter fanatik nan militan yang mengidentifikasikan secara sungguh-sungguh dengan segenap hasrat dan melibatkan dengan amat dalam sisi emosionalnya pada klub yang mereka dukung.

Ultras mempelopori suporter yang amat terorganisir (highly organized) dengan gaya dukung ‘teatrikal’ yang kemudian menjalar ke negara-negara lain. Model tersebut sekarang telah begitu mendominasi di Prancis, dan bisa dibilang telah memberi pengaruh pada suporter Denmark ‘Roligans’, beberapa kelompok suporter tim nasional Belanda dan bahkan suporter Skotlandia ‘Tartan Army’

Model tersebut masyhur karena menampilkan pertunjukan-pertunjukan spektakuler meliputi kostum yang terkoordinir, kibaran aneka bendera, spanduk & panji raksasa, pertunjukan bom asap warna-warni, nyala kembang api (flares) dan bahkan sinar laser serta koor lagu dan nyanyian hasil koreografi, dipimpin oleh seorang CapoTifoso yang menggunakan megaphones untuk memandu selama jalannya pertandingan.

Dalam tradisi calcio, ultras adalah “baron” dalam stadion. Mereka menempati dan menguasai salah satu sisi tribun stadion, biasanya di belakang gawang, yang kemudian lazim dikenal dengan sebutan curva. Ultras tersebut menempati salah satu curva itu, baik nord (utara) atau sud (selatan), secara konsisten hingga bertahun-tahun kemudian. Utras dari klub-klub yang berbeda ditempatkan pada curva yang saling berseberangan. Selain itu, berlaku aturan main yang unik yaitu polisi tidak diperkenankan berada di kedua sisi curva itu.

Kelompok Ultras yang pertama lahir adalah (Alm.) Fossa dei Leoni, salah satu kelompok suporter klub AC Milan, pada tahun 1968. Setahun kemudian pendukung klub sekota sekaligus rival, Internazionale Milan, membuat tandingan yaitu Inter Club Fossati yang kemudian berubah nama menjadi Boys S.A.N (Squadre d’Azione Nerazzurra). Fenomena ultras sempat surut dan muncul lagi untuk menginspirasi dunia dengan aksi-aksi megahnya pada pertengahan tahun 1980-an.

Fenomena ultras sendiri diilhami dari demontrasi-demontrasi yang dilakukan anak-anak muda pada saat ketidakpastian politik melanda Italia di akhir 1960-an. Alhasil, sejatinya ultras adalah simpati politik dan representasi ideologis. Setiap ultra memiliki basis ideologi dan aliran politik yang beragam, meski mereka mendukung klub yang sama. Ultras memiliki andil “melestarikan” paham-paham tua seperti facism, dankomunism socialism

.

Mayoritas ketegangan antar suporter disebabkan oleh perbedaan pilihan ideologis daripada perbedaan klub kesayangan. Untungnya, dalam tradisi Ultras di Italia terdapat kode etik yang namanya Ultras codex. Salah satu fungsi kode etik itu “mengatur” pertempuran antar ultras tersebut bisa berlangsung lebih fair dan “berbudaya”. Salah satu etika itu adalah dalam hal bukti kemenangan, maka bendera dariultras yang kalah akan diambil oleh ultras pemenang. Kode etik lainnya ialah, seburuk apapun paratifosi itu mengalami kekejaman dari tifosi lainnya, maka tidak diperkenankan untuk lapor polisi.

Dewasa ini, ultras kerap dipandang sebagai lanjutan atau warisan dari periode ketidakpastian dan kekerasan politik 1960-an hingga 1970-an. Berbagai kesamaan pada tindak tanduk mereka disebut sebagai bukti dari sangkut paut ini. Kesamaan-kesamaan itu tampak pada nyanyian lagu - yang umumnya digubah dari lagu–lagu komunis tradisional - lambaian bendera dan panji, kesetiaan sepenuh hati pada kelompok dan perubahan sekutu dengan ultras lainnya, dan, tentunya, keikutsertaan dalam kekacauan dan kekerasan baik antara mereka sendiri dan melawan polisi!

Bentrok dengan polisi menjadi salah satu tabiat asli ultras. Bagi ultras, polisi adalah hal yang diharamkan alias A.C.A.B (All Cops Are Bastar*s). Sebulan sebelum Sandri terbunuh, muncul klaim dari pihak polisi yang menyatakan bahwa tak kurang dari 268 kelompok ultra dengan aspirasi politik, semuanya memiliki semangat kebencian pada polisi. Selain itu, masih menurut polisi, mayoritas kelompok tersebut berhubungan dengan gerakan ekstrim kanan yang fasis.

Tak hanya polisi, manajemen klub, staff pelatih dan bahkan pemain juga pernah mengalami perlakuan tidak menyenangkan dari ultras. Beberapa kelompok Ultras dalam menjamin dukungannya (terutama dalam pertandingan tandang), memaksa klub untuk memberi jatah tiket gratis, keuntungan perjalanan, dan bahkan hak atas merchandise. Ketegangan dengan pihak klub kerap berujung boikot dukungan pertandingan di kandang.

Namun sebenarnya ultras tidak seseram yang dibayangkan. Bahkan dibandingkan dengan Hools (FIRM) di inggris. Karena sebenarnya ultras menjauhi yang namanya keributan. (walaupun ada yg suka nyari masalah).Dan tidak semua kelompok ultras berafiliasi politik. memang ada yang kanan, kiri, merah, dsb...Tapi yang tidak bermain politik juga ada.

Pelatih atau manajer yang mundur (bukan karena dipecat manajemen klub) biasanya adalah produk dari tekanan ultras. Dari pihak pemain, Christian “Bobo” Vieri pernah mengalami teror fisik dari ultrasInter, termasuk dirusaknya salah satu properti bisnisnya, karena dianggap berkurang kadar loyalitasnya pada tim.

Dengan kemegahan dan kesuramannya ultras adalah fenomena khas Italia, representasi masyarakat Italia, dan identitas calcio. Seperti halnya kualitas Lega Serie A yang menjadi kiblat dunia sepak bola, seperti sistem catenaccio yang mengilhami banyak pelatih di dunia, maka aksi ultras di stadion pun menjadi rujukan dan referensi bagi suporter-suporter negara lain, termasuk kelompok suporter di Indonesia.

Suporter Indonesia Rasa Ultras

Suporter di Indonesia sedang berada dalam periode bertumbuh. Dalam lima tahun terakhir ini, muncul kelompok-kelompok suporter terorganisir. Suatu fenomena yang berdampak amat positif bagi perkembangan sepak bola nasional. Kehadiran kelompok suporter ini sedikit banyak merubah gaya dukung dan pola perilaku penonton di lapangan. Secara keseluruhan, berdampak pada industri sepak bola nasional yang lebih semarak dan berwarna.

Tak bisa dipungkiri aksi-aksi kreatif kelompok suporter di Indonesia ini mengadopsi gaya suporter luar negeri. Meski di kemudian hari, terjadi proses kreatif dengan lebih banyak menampilkan produk budaya lokal. Suporter luar negeri yang menginspirasi itu bisa dari Barras Bravas (Argentina/Amerika Latin),Roligan (Denmark), Tartan Army (Skotlandia) dan tentunya Italian Ultras!

Kentalnya budaya ultras bisa dilihat dengan teramat jelas dari atraksi kelompok suporter kita di lapangan. Mulai dari menempati sisi tribun tertentu meski tidak selalu di belakang gawang. Namun yang konsisten di sekitar belakang gawang diantaranya yaitu ,Ultras Persija, Orange Street Boys(Persija), Brigata Curva Sud (PSS Sleman), dan Pasoepati (Persis Solo), sedangkan beberapa kelompok suporter lainnya lebih suka di tribun tengah menghadap kamera! Menggunakan istilah asing (Ultras) terkadang tidak juga salah asal mengerti dan paham mengenai istilah tersebut. Ultras yang dipakai lebih ke mentalitasnya.. nilai2nya... Saat supporter berdiri 90 menit dan meneriakkan lagu2 pembangkit semangat (bukan lagu2 cacian kepada suatu kelompok), tak peduli hasil yang dicapai,itu juga merupakan bagian dari nilai2 ultras... saat anda melakukan koreografi2 memukau, itu bagian dari nilai2 ultras..ataupun saat kami bertempur dengan supporter , itu juga bagian dari nilai2 ultras..yang jelas Ultras tidak akan menyerang jika tidak diserang terlebih dahulu,tidak akan menolong jika tidak diperlukan

Tapi nilai2 itu, pastilah tercampur dengan budaya kita sendiri... terkadang beberapa komunitas di dalam suporter Persija juga menggunakan istilah ultras, walaupun saat mengaku ultras, mereka dengan bangganya berfoto2 menunjukkan identitas mereka, ya mungkin itu pemahaman akan arti ultras oleh mereka...(narsisme)… Di Luar Negri (Italy,Inggris,German,dll) seorang ULTRAS mungkin tidak punya KTA/ID Card atau bahkan kelompok tersebut sampai memiliki AD/ART karena mereka sangat paham arti kata Ultras, alasan mereka datang ke stadion benar-benar dari Hati dan Jiwanya..bukan juga karena UANG…sedangkan di INDONESIA UANG adalah alat detok sempurna untuk sebuah loyalitas..Orang bisa pindah agama,keyakinan,Klub,bahkan Partai.. Bagi saya AGAMA bisa dipeluk oleh ribuan bahkan jutaan umat,TETAPI SEORANG manusia hanya bisa PELUK SATU AGAMA, apabila ada yg percaya selain TUHANnya maka disebut Musyrik Bahkan KAFIR...Team Sepakbola yang saya dukung Bisa didukung oleh puluhan ribu supporter,TETAPI SEORANG SUPPORTER HANYA BISA MEMILIH SATU TEAM SEPAKBOLA SAJA...Tetapi jika mendukung lebih dari satu team,maka bisa disebut orang yang tidak memiliki komitmen atau bahkan bisa dicap Pengkhianat…maka d iIndonesia muncul slogan seperti SATU JAKARTA SATU (PERSIJA) ,SALAM SATU JIWA(AREMA) dll. Pendukung suatu klub tak harus wadah tunggal (seperti Orde Baru). Apalagi saat ini, mereka (kelompok suporter) melengkapi dengan AD/ART bahkan disahkan dengan akte notaris segala. Ujung-ujungnya adalah konflik kepentingan dan potensi dimanfaatkan elit politik. Contoh di SRIWIJAYA FC supporter Singamania dan Beladas, di Persiba ada PFC dan Balistik, di PERSIJAP ada Banaspati dan JETMEN,dll

Nah kalo ultras di Indonesia itu yang hebat, terlalu rapi. Kalo diluar negeri mereka hanya merupakan komunitas ataupun kelompok. Kalo disini, kebanyakan merupakan organisasi yang memiliki AD/ART. Parahnya masyarakat awam tidak bisa membedakan yang mana julukan suporter dengan nama kelompok suporter. Seperti contoh The Jakmania. Yang merupakan organisasi suporter pendukung Persija, tapi sering diartikan sebagai julukan untuk menyebut seluruh suporter Persija. Padahal gak semua suporter Persija adalah anggota The Jakmania. Dan memang tidak semua klub punya julukan bagi suporter mereka.

Dirijen seperti Yuli Sumpil, yang sohor itu adalah manifestasi seorang CapoTifoso. Yuli memiliki wibawa seorang CapoTifoso, apabila ia memerintahkan untuk melakukan suatu gerakan maka akan dipatuhi oleh suporter termasuk (seandainya) memerintahkan mengintimidasi pemain lawan dengan lemparan benda-benda, tetapi apabila ia melarang, maka tidak ada satu pun suporter yang berani melawannya. Walaupun ada yang berpendapat seorang Yuli Sumpil tidak pantas disebut demikian Karena dia "hanya" memimpin Aremania. Beda dengan capo tifoso di curva sud atau nord di Itali misalnya. Yang tidak hanya memimpin kelompoknya, tapi memimpin seluruh kelompok yang ada di curva itu, untuk membentuk koreo yang indah..

Belum lagi kostum yang terkoordinir, dan bentangan spanduk yang di pinggir-pinggir lapangan adalah rasa ultras pada suporter Indonesia. Sayangnya, prestasi tim nasional dan klub-klubnya tak semanis prestasi Squadra Azurri dan wakil-wakil Serie A di Eropa. Pahit getir sepak bola Indonesia terutama sekali saat menilik kelakuan oknum pengurus dibawah kepemimpinan Yang "Terhormat" Nurdin Halid!

Seorang Ultras sejati tidak memiliki nama -hanya teman dekat yang mengetahuinya-. Seorang Ultras sejati tidak dikenal oleh orang lain, kepalanya selalu tertutup oleh “hood”, hidung dan mulutnya selalu ditutup oleh syal. Seorang Ultras sejati tidak mengikuti mode dan hal teranyar lainnya. Saat seorang Ultra berjalan dikeramaian, kendati tanpa logo supporter, dia akan mudah dikenal orang lain.

Seorang Ultra sejati hanya menyerang jika diserang dan akan menolong jika diperlukan. Seorang Ultra sejati tidak akan berhenti kendati tiba di rumah dan membuka syalnya. Ultra Sejati akan selalu bertarung tujuh hari dalam seminggu.

Ultra tua akan memimpin dan memberikan contoh kepada yang muda. Ultra muda harus memberikan rasa hormat kepada yang tua. Ultra muda akan merasa bangga jika berdiri berdampingan dengan yang tua, mereka akan belajar dari kritikan si tua. Yang muda akan bersemangat jika mendapat jabatan tangan erat dari yang tua.

Saat orang normal melihat tingkah laku Ultra, mereka tidak akan mengerti, tetapi Ultra memang tidak ingin dimengerti atau menjelaskan arti keberadaan mereka. Setiap Ultra berbeda; ada yang mengenakan logo supporter atau tim ada juga yang tidak pernah menggunakan keduanya. Ada yang bepergian dalam sebuah kelompok ada yang pergi secara individu.

Kendati berbeda, satu hal yang membuat mereka bersatu adalah kecintaan terhadap klub, hasrat mereka untuk berdiri selama 90 menit tidak peduli hujan atau dingin. Mereka bersatu dan menghangatkan diri dengan teriakan keras dan serempak, bersatu kendati tertidur setengah mabuk di sebuah kereta atau bis yang membawa mereka pada pertandingan tandang, bersatu karena konvoi di pusat kota tim lawan, bersatu karena berbagi sedikit makanan setelah berjam-jam menahan rasa lapar, bersatu karena berbagi sebatang rokok, bersatu karena berpenampilan sama, bersatu karena idealisme, bersatu karena memiliki MENTALITAS yang sama.

Semua hal diatas menyatukan kami sekaligus menjauhkan kami dari bagian dunia yang lain; dari orang tua yang khawatir, dari sepupu yang bodoh, dari teman sekolah atau rekan kerja, dari guru atau bos yang tidak memiliki rasa toleransi. Ultras tidak pernah melakukan vandalisme atau kekerasan tanpa alasan. Ini hanya cara untuk bertahan dari hidup yang sudah terkena krisis masalah sosial, acara televisi yang bodoh, disko yang terus menerus menarik anak muda dan terpenting tindakan represif yang tidak dapat dibenarkan (polisi dan federasi).

Menjadi Ultra adalah seperti ini dan masih banyak lainnya seperti emosi dan hasrat yang tidak dapat dijelaskan kepada orang lain yang tidak mau mengerti atau kepada orang yang biasa memutar kepala dan melanjutkan hidup di balik kaca, orang yang tidak memilik cukup NYALI untuk menghancurkan kaca dan memasuki DUNIA KITA!

Ultras.. Sebuah kata yang akhir2 ini sangat sering disebut oleh media2 di tanah air seiring dengan banyaknya tindakkan hooliganisme yang dilakukan beberapa kelompok ultras di Italia. Sangat lucu sekali membaca beberapa comment di media yang menyebutkan bahwa ultras memiliki arti 'garis keras' yang selalu di indentikkan dengan hooliganisme. Tapi apa mau dikata, begitulah media, begitulah jurnalis, mereka hanya bisa menulis apa yang bisa mereka lihat tanpa harus benar2 mengerti dan benar2 memahami objek yang mereka jadikan berita.

Perlu sedikit diluruskan mengenai makna kata 'ultras' sendiri. Ultras bukan nama, Ultras adalah istilah.. sama dengan kata hooligan yang juga merupakan sebuah istilah. Kata ultras sendiri berasal dari suku kata Ultra yang dalam bentuk kata sifat berarti ekstrim dan dalam kata benda berarti ekstrimis penambahan huruf s sebagai penunjuk bentuk jamak (kelompok). Kata ekstrim sendiri berarti 'yang ter-'. 'yang paling'. 'melebihi yang lain', atau 'lebih dari biasa'. Bila dihubungkan dengan konteks supporter bisa dikatakan bahwa ultras berarti kelompok supporter yang memiliki fanatisme, rasa cinta, dan dukungan yang lebih dari supporter biasa. Sedangkan Hooligan sendiri adalah istilah yang berarti 'perusuh' atau 'suka berbuat onar'.

Ciri2 kelompok supporter Ultras adalah Selalu bernyanyi mendukung kesebelasan kebanggaanya, mendukung tim mereka baik dikandang sendiri maupun dikandang lawan, dan tak pernah meninggalkan tim kebanggannya baik saat jaya maupun saat terpuruk. Dari ciri2 kelompok ultras

sendiri bisa dikatakan bahwa hampir semua kelompok supporter di Indonesia adalah Ultras. Slemania itu ultras, The Jak itu ultras, Aremania itu ultras. klompok supporter lainnya juga ultras. Walau mereka tidak ada embel2 kata ultras dalam organisasi mereka tapi istilah ultras tetap mereka sandang karena mereka semua memiliki karakter dan mentalitas ultras. Meski demikian, ada banyak juga kelompok supporter (termasuk kami sendiri) yang menggunakan kata ultras sebagai nama kelompok mereka.

Jadi bisa disimpulkan bahwa Ultras dan Hooligans adalah dua istilah yang berbeda dengan pengertian yang berbeda pula. Hampir semua hooligans adalah Ultras, tapi tidak semua Ultras adalah hooligans..!!

HOOLIGANS adalah fans sepakbola yang brutal ketika tim idolanya kalah bertanding. Hooligan merupakan stereotif supporter sepakbola dari Inggris, namun akhi-akhir ini menjadi fenomena dunia termasuk negara Indonesia sendiri. Sebagian besar dari hooligan adalah para backpacker yang berpengalaman dalam melakukan sebuah perjalanan. Tidak sedikit dari mereka yang sering keluar-masuk penjara karena sering terlibat dalam sebuah bentrokan. Mereka jarang menggunakan pakaian yang sama dengan tim pujaannya agar tidak terdeksi kehadiran mereka oleh pihak aparat. Meski demikian, keunggulan dari hooligan ini mereka paling anti menggunakan senjata dalam melakukan sebuah duel, karena menurut mereka itu hanyalah sebuah cara yang dilakukan oleh sekelompok banci.

Diantara Supporter Persija ada juga yang memang lahir dari komunitas hardmods, bootbois, skinhead, rudeboys, casuals, dll.. dan membentuk suatu kelompok yang disebut Persija FIRM (Tiger Boys) seperti di Inggris, namun disisi lain mereka membakar flare dan membuat syal komunitas, ya mungkin itu kreatifitas mereka, karena mengikuti suatu kultur, lagipula tidak berarti harus mengikuti semua pakem bakunya.

Kalian tahu jika kata ultras berasal dari bahasa latin yang artinya "di luar kebiasaan" kurang lebih pengertiannya begitu. Mengapa di luar kebiasaan? Karena ultras tidaklah sama dengan suporter pada umumnya. Mereka BERBEDA atau berusaha BERBEDA. Jika suporter biasa mungkin ada yang diam saja sepanjang pertandingan atau ada yang nyayi tapi sebentar.Ultras kebalikannya. Ultras akan terus bernyanyi dan mendukung tim kesayangannya, baik saat menang maupun kalah. Totalitas dalam mendukung. Bahkan di beberapa negara para ultras rela berdiri sepanjang laga. Bernyanyi,bersorak, mengibarkan bendera klub tanpa henti.

Satu lagi BERBEDANYA ultras, biasanya mereka memiliki wilayah kekuasaan sendiri di dalam stadion. Pasti kalian pernah dengar CURVA SUD atau CURVA NORD itu artinya sebutan bagi wilayah mereka.Seperti Tribun Barat atau Timur. Dipastikan mereka dalam setiap laga akan mendukung tim di wilayah tersebut, kecuali kalau lagi di renovasi. Paling seru kalo stadion itu menjadi kandang dua atau tiga tim yang berbeda. Ultras klub akan ditempatkan bersebrangan. Contohnya klub Milan dan Inter. Sama-sama main di San Siro atau Giuseppe Meazza. Ultras keduanya ditempatkan bersebrangan. Jika Milanisti ditempatkan di Curva Sud. Internisti di Curva Nord. Ga perlu dijelasin khan kenapa harus dipisahin jauh. Selain untuk menghindari bentrok fisik. Ternyata ada sisi seni juga loh dibalik pemisahan tersebut. Wih, ultras punya seni. Biasanya ultras yang dah tinggi level seninya akan berkreasi dengan melakukan koreografi mendukung tim kesayangannya. Perang seni pun dapat terjadi kalo dua kubu yang bersebangan saling membalas koreografi. Ga cuman mencet-mencet hong doang. Berseni khan,bayangin aja gimana mengelola ratusan hingga ribuan suporter buat bikin kayak gitu. ULTRAS NIH! Niat ngedukung. Bikin mosaik,koreografi,kibarin bendera dan banner raksasa, serta nyanti tanpa henti bisa disebut beberapa ciri-ciri ultras. Pasti bingung gimana bisa kompak.

Pasti harus ada yang ngomandoin lah aka dirigen aka pemimpin komando sering disebut Capo. Capo ini yang akan memimpin pergelaran seni ala ULTRAS di stadion. Biasanya bawa megaphone buat perintahnya kedengeran. Capo ini akan mengomandoi kapan bernyanyi, koreografi, mozaik, intinya yang ga berenti ngedukung tim kesayangannya. Capo itu harus diacungi jempol, karena biasanya mereka malah ga sempet nonton pertandingan, karena sibuk jadi dirigen. Capo sendiri biasanya adalah pemimpin ultras atau ada juga yang ditunjuk karena mampu menggerakkan massa distadion. Kelompok ultras yang pertama kali muncul adalah (almarhum) Fossa dei Leoni, salah satu kelompok suporter Milan pada 1968. Setahun kemudian kelompok suporter Inter Milan mendirikan tandingannya Inter Club Fosati yang kemudian menjadi Boys S.A.N. Boys S.A.N atau Squadre d’Azione Nerazzurra.

FDL dan Boys S.A.N menjadi cikal bakal munculnya ultras-ultras lain di Italia. Muncullah Yellow-blue Brigade Verona, Viola Club Viesseux Fiorentina ( 1971), Naples Ultras (1972). Red and Black Brigade Milan, Griffin's Den Genoa dan Granata Ultras Torino (1973), For Ever Ultras Bologna (1975). Juventus Fighters (1975),Black and BlueBrigadeAtalanta (1976),Eagle's Supporters Lazio dan Commando Ultras Curva Sud (CUCS). Perkembangan selanjutnya aksi para ultras sempat menurun di awal tahun 1980an, Namun kembali bergairah dipertengahan 1980an. Sebenarnya ada sisi lain dibalik pembentukan ultras selain sebagai kelompok suporter,yaitu kaitannya dengan gerakan politik. Pembentukan ultras dipelopori oleh anak muda yang merasa tidak puas dengan kondisi perpolitikan di Italia saat itu (1960an). Sebagai pelampiasan positifnya mereka ungkapkan dengan membentuk ultras dan berdemonstrasi ala suporter di stadion. Oleh karenanya dahulu ultras juga perpanjangan ideologi politik,bahkan dapat disebut sebagai pelestari paham politik Italia.

Biasanya setiap ultras punya paham dan ideologi politiknya masing-masing, dan ternyata sumber keributan antar ultras itu... Keributan seringkali karena perbedaan ideologi, bukan karena berbeda klub. Nah, beda banget ama di Indonesia nih. 38. Nah, berkaitan dengan keributan antar ultras. Dibuatlah sebuah kode etik yang disepakati oleh seluruh ultras, Ultras Codex. Apa sih Ultras Codex? Yaitu kode etik yang mengatur persaingan antar ultras agar lebih beradab.Tidak sekadar saling mencaci. Salah satu kode etik adalah perebutan bendera ultras. Perebutan ini dilakukan dengan cara hajar tuntas aka tawuran. Ultras yang menang dari tawuran berhak ngambil bendera ultras lawan sebagai bukti kemenangan. Di sini Ultras Codex berperan. Setiap ultras tidak akan pernah melaporkan lawannya terkait dengan cedera akibat dari pertempuran tersebut, separah apapun. Satu lagi yang menyatukan Ultras selain Ultras Codex adalah istilah A.C.A.B bukan CBSA ye. A.C.A.B adalah singkatan dari All Cops Are Bast*rds. Para ultras sepakat akan A.C.A.B dan menyamakan persepsi bahwa musuh bersama itu pihak berwajib. Nah, berkaitan dengan A.C.A.B ini.

Tahukah kalian jika di setiap wilayah ultras di dalam stadion dilarang ada pihak berwajib. Permintaan tidak adanya pihak berwajib ini diminta langsung oleh pihak ultras ke pihak klub loh. Cadas! Meskipun demikian ultras ga memancing ribut ama polisi,kalo di luar kendali polisi tetap bertindak sesuai hukum berlaku. Oleh karenanya,setiap pemimpin ultras menjaga benar-benar ulah anggotanya agar tidak melanggar hukum,terutama Ultras Codex. Setiap ultras memiliki peraturan yang berpegang teguh kepada Ultras Codex. Respect other and other will respect you too. Untuk Ultras dalam negeri, memang baru berkembang beberapa tahun ini. Sebagian besar baru berupa perkumpulan kecil. (diambil dari berbagai sumber)